Senin, 07 Februari 2011

Ahmadiyah Berulah : Potret Pemerintah yang Gagal Menjamin Keadilan Bagi Muslim !

| Senin, 07 Februari 2011 | 0 komentar

Ahmadiyah (Kembali) Berulah
(Potret Penguasa Lalai dan Gagal Menjamin
Rasa Keadilan Umat Islam Indonesia; Oleh:
Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah DPP
HTI)
Bentrok fisik kembali pecah antara
masyarakat dengan jemaat Ahamdiyah. Kali
ini terjadi sekitar pukul 10.30 Wib hari Ahad
(6/2/2011), di kampong Pasir Peuteuy, Desa
Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten
Pandeglang, Banten. Ada 3 tewas dan
sejumlah lainya luka-luka akibat bentrokan,
dan dari beberapa sumber informasi yang
bisa dipercaya pemicu bentrokan akibat
adanya sikap dan pernyataan yang provokatif
dari jemaat Ahmadiyah terhadap masyarakat
setempat.
Kapolri Timur Pradopo menyatakan para
penentang Ahmadiyah adalah warga
setempat dan sementara Jemaat Ahmadiyah
dibantu sekitar 15 orang yang disinyalir
datang dari Bekasi (Republika, 7/2). Bahkan
sebagian media memberitakan sekitar 20
orang lebih datang dari Jakarta dengan
maskud mengamankan aset Ahmadiyah dan
membela jemaat Ahmadiyah sampai titik
darah penghabisan.
Kasus bentrok fisik diatas adalah kesekian
kalinya, yang sebelumnya juga terjadi di
Kuningan Jawa Barat, Mataram, Bogor,
Makasar dan lainya. Dalam kasus diatas,
Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo
meminta kepada masyarakat agar melihat
kasus penyerangan Kampung Peundeuy, Desa
Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten
sebagai kasus kriminal murni tanpa
mengkaitkan dengan kelompok atau aliran
tertentu. Demikian diungkapkan Kepala Badan
Reserse dan Kriminal Polri, Komjen Ito
Sumardi, Senin (7/2/2011), di Mabes Polri,
Jakarta (Kompas.com,7/2).
Memunculkan Polemik
Akhirnya peristiwa diatas mendapatkan
sorotan dari berbagai pihak, baik pemerintah,
tokoh Agama, Ormas, dan LSM paska sebagian
media elektronik dan cetak mengekspos
secara masif.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri
meminta semua pihak agar kembali pada
kesepakatan yang termaktub dalam Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam
Negeri, Menteri Agama dan Jaksa Agung. Hal
itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono Minggu
(Antara,7/2).
Dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan
Keamanan, Djoko Suyanto membacakan tujuh
poin sikap pemerintah usai rapat tertutup
dengan Kapolri Timur Pradopo, Jaksa Agung
Basrief Arief, Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi dan Menteri Agama Suryadharma Ali di
Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan
Keamanan, Jakarta, Minggu (6/2/2011)
malam,(kompas.com, 7/2).
Poin penting diantaranya adalah yang ke tiga;
kepada semua pihak baik dari warga
Ahmadiyah dan pihak masyarakat lain harus
tetap mentaati kesepakatan-kesepakatan
bersama yang dibuat tanggal 14 Januari 2008
yang terdapat ada 12 butir kesepakatan dan
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung dan Mendagri Tahun 2008.
Dan poin keempat; kepada segenap warga
Ahmadiyah agar memahami dan mentaati
kesepakatan bersama tanggal 14 Januari
2008 serta kesepakatan bersama tahun 2008.
Kepada warga lain, diminta untuk tidak
melakukan tindakan-tindakan kekerasan
terhadap warga Ahmadiyah. Apabila ada
perselisahan ataupun permasalahan harus
disalurkan dan diselesaikan melalui Tim
Koordinasi Pengawasan Kepercayaan
Masyarakat (PAKEM) yang ada di setiap daerah
yang diketuai Kejaksaan.
Namun saat ini sebagian besar umat Islam
tidak habis pikir, kenapa kasus Ahmadiyah
tidak kunjung usai?Seolah pemerintah hanya
bisa menghimbau, mengevaluasi tapi minus
solusi. Kenapa pemerintah tidak tegas
terhadap Ahmadiyah dengan payung UU yang
ada? Padahal sejak tahun 2008 pemerintah
juga sudah mengeluarkan SKB (surat
keputusan bersama) yang bernomor: 3 tahun
2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008/
Nomor;199 Tahun 2008, yang ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008 di tanda
tangani Menag, Jaksa Agung dan Mendagri.
Bahkan MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa
kesesatan Ahmadiyah sejak 1 Juni 1980/17
Rajab 1400H, Rabithah Alam Islami (RAI,
Lembaga Muslim Dunia) juga lebih awal
megeluarkan fatwa sesatnya Ahmadiyah sejak
tahun 1974. Wajar kalau kemudian muncul
opini miring, pemerintah tidak konsisten dan
sengaja melakukan pembiaran atas gesekan-
gesekan fisik masyarakat dengan Ahmadiyah.
Bahkan seakan “isu Ahmadiyah” sengaja di
pelihara dan dijadikan komoditas politik dan
kepentingan kelompok tertentu.
Usaha mempolitisir?
Justru jika kita perhatikan, saat ini peristiwa
“ Cikeusik” kembali menjadi “angin surga”
bagi pengusung ide-ide sesat pluralisme dan
kebebasan beragama. Apalagi peristiwa
diatas terjadi berketepatan dengan event
“ World Interfeith Harmony Week” yang
diadakan oleh Inter Religious Council (IRC) di
Istora Senayan, Jakarta, Ahad (6/2) yang
memiliki tujuan untuk mendorong kerukunan
dan toleransi serta mengakhiri pertikaian dan
kekerasan antar umat beragama. Maka
“ Cikeusik” menjadi isu menarik bagi sebagian
kelompok yang selama ini konsen
mengkampanyekan toleransi dan pluralisme.
Ditahun 2010 melalui AKKBP melakukan
Judicial Review terhadap undang-undang
PNPS No.1 tahun 1965 tentang penodaan
agama dan di tolak oleh MK (Mahkamah
Konstitusi).Dan sangat mungkin kali ini
kembali mendramatisir dan mempolitisir
peristiwa “Cikeusik” untuk menyuarakan
pentingnya “kebebasan beragama” dan
mengkambing hitamkan (mencari kesalahan)
kelompok-kelompok (ormas) yang dianggap
menjadi inspirator tindakan-tindakan
kekerasan. Bahkan menyudutkan MUI sebagai
pihak yang betanggungjawab atas keluarnya
Fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sesat.
Tidak hanya itu, berikutnya akan
mempersoalkan SKB tentang Ahmadiyah
sebagai salah satu pemicu lahirnya kekerasan
atas jemaat Ahmadiyah. Dengan jargon “HAM”
langkah advokasi untuk melindungi eksistensi
kelompok sesat dan menodai keyakinan umat
Islam juga akan dilakukan. Dan menekan
pemerintah agar tetap dalam ideologi
sekulernya dan tidak masuk dalam ranah
agama; Negara tidak boleh ikut campur
tangan dalam urusan privacy (keyakinan)
warga negaranya.
Tentu saat ini umat harus berfikir kritis dan
bersikap waspada atas setiap manuver yang
menjadikan umat Islam sebagai pihak
tertuduh atas setiap peristiwa kekerasan.
Karena banyak ruang terbuka munculnya
konspirasi untuk melahirkan undang-undang
(regulasi) yang bisa mengebiri kelompok atau
setiap potensi yang dianggap kontra
terhadap semangat toleransi, pluralism, dan
kebebasan ala “demokrasi”.
Akar Masalah
Oleh karena itu, dalam anatomi masalah
Ahmadiyah tersimpul beberapa penyebab
pokok ahmadiyah menjadi “bisul” menahun
dalam kehidupan kaum muslim di Indonesia.
Pertama, Ahmadiyah sebagai kelompok sesat
sudah menjadi perkara yang disepakati
(mujma ’ alaihi) dan tidak ada khilaf
berdasarkan dalil-dalil syar’I -al Qur’an, As
Sunnah dan Ijma’ Sohabat- namun dibiarkan
eksis dalam kehidupan kaum muslim
Indonesia.Dan usaha dialog dan dakwah yang
persuasive juga tidak mereka hiraukan,
jemaat Ahmadiyah tetap apriori (kukuh)
dengan keyakinan sesatnya.Jika ada yang
rujuk ilal haq itu masih sebatas person dari
mereka, tapi secara institusi Ahmadiyah di
Indonesia tidak pernah mau merubah
keyakinan dan sikapnya agar bisa diterima
menjadi bagian utuh dari kaum muslim.
Kedua, inkonsistensi pemerintah menjalankan
SKB alias SKB tidak berjalan sebagaimana
mestinya, padahal dalam SKB jelas-jelas
memutuskan Ahmadiyah sebagai kelompok
sesat. Oleh karena itu pemerintah terlihat lalai
bahkan “gagal” untuk melindungi keyakinan
mayoritas umat Islam.
Jika kembali ke substansi SKB yang berisi 7
poin keputusan, terlihat jelas bahwa
pemerintahlah yang paling besar peran dan
fungsinya untuk menyelesaikan. Bola di
tangan Presiden, jika pemerintah serius bisa
saja meningkatkan SKB itu menjadi Kepres
(keputusan presiden) sehingga konflik
horizontal bisa dihindari.Tapi sekali lagi
kenapa pemerintah bersikap ambigu (medua)
dan ragu? Seharunya bersikap tegas dan
jelas, pemerintah tinggal pilih pertama;
bubarkan Ahmadiyah dan jika Ahmadiyah
tetap ngotot dengan pendiriannya maka
pemerintah dengan dukungan mayoritas
umat Islam bisa menetapkan Ahmadiyah
bukan lagi bagian dari Islam dan jemaatnya
bukan orang Islam.kedua;di biarkan tanpa
keputusan; Tentu semua ada resiko, tapi jika
dibiarkan tanpa ada keputusan tegas
(memilih opsi pertama) serta implementasi
keputusan secara konsisten itu akan jauh
lebih berbahaya.Karena pilihan kedua jelas
tidak memiliki dasar hukum (baik hukum
syara ’ maupun hukum positif yang ada),
bahkan justru akan mengakumulasi rasa
ketidakadilan dan ketersinggungan mayoritas
umat Islam Indonesia yang merasa keyakinan
(akidahnya) di nodai oleh kelompok
Ahmadiyah.Jika ini dibiarkan terus, akan
menjadi “bara dalam sekam” tinggal
menunggu pemantiknya, kontraksi social
politik akan makin liar jika menemukan
momentumnya.
Ketiga, keberadaan individu dan kelompok-
kelompok pengusung liberalisme (kebebasan)
beragama dengan kedok HAM dan Demokrasi
berusaha membela kelompok sesat
Ahmadiyah.Dalam koridor Demokrasi,
kelompok ini menjadi ganjalan bagi
pemerintah untuk bersikap tegas.Apalagi jika
para penguasa (pemegang kebijakan) cara
berfikirnya juga liberal dan lebih
memperhatikan citra agar dianggap seorang
yang demokratis, moderat dan humanis serta
meraih dukungan dari pihak asing (Barat),
sehingga abai sama sekali terhadap nasib
mayoritas umat Islam yang ternodai
keyakinannya.
Jadi, umat Islam hingga saat ini menunggu
bukti dan realisasi dari SKB, bukan sekedar
himbauan. Karena kunci penyelesaian
bergantung kepada keberanian pemerintah
mengimplementasikan SKB yang ada.Jika
tidak, maka pemerintah benar-benar bersikap
munafiq (hipokrit).
SKB seperti pisau bermata dua, satu sisi
pemerintah mengakui bahwa jemaat
Ahmadiyah beraliran sesat dan sudah tidak
boleh melakukan penyebaran keyakinan
mereka.Apabila melanggar, akan dikenakan
sanksi pidana.Jika masih membandel akan
dibubarkan.Namun ketika MUI dan
masyarakat sudah melaporkan kepada
pemerintah jika sampai saat ini jemaat
Ahmadiyah masih menjalankan keyakinannya
dan tidak melakukan perubahan apa-apa.
Faktanya pihak pemerintah tidak memberikan
respond dan tindakan yang semestinya.Tentu
ini melahirkan kekecewaan masyarakat luas,
tapi disatu sisi masyarakat atau siapapun
tidak boleh melakukan tindakan apapun,
apalagi kekerasan kepada jemaat
Ahmadiyah.Jika ada masalah harus dilaporkan
kepada aparat sehingga tidak ada
penghakiman sendiri.
Jadi tampak jelas, konsistensi dan
implementasi pemerintah terhadap SKB tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Wajar kalau
kemudian Ahmadiyah yang jumlahnya tidak
sampai 0,001 persen dari penduduk
Indonesia tetap eksis, bahkan menjadi
pemantik gesekan-gesekan fisik dalam
kehidupan beragama khususnya umat Islam.
Para penguasa harus ingat peringatan Allah
SWT, tentang orang-orang yang condong
kepada perbuatan dzalim atau bahkan lebih
dari itu.
“Dan janganlah kamu cenderung kepada
orang-orang dzalim yang menyebabkan kamu
disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu
tiada mempunyai seorang penolongpun
selain daripada Allah, kemudian kamu tidak
akan diberi pertolongan ”(QS.Hud:112-113).
Wallahu a’lam bisshowab

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com